Minggu, 29 Juni 2014

Perubahan Berbudaya


Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.

Perkembangan Sosial Dan Kebudayaan Indonesia
Setiap kehidupan di dunia ini tergantung pada kemampuan beradaptasi terhadap lingkungannya dalam arti luas. Akan tetapi berbeda dengan kehidupan lainnya, manusia membina hubungan dengan lingkungannya secara aktif. Manusia tidak sekedar mengandalkan hidup mereka pada kemurahan lingkungan hidupnya seperti ketika Adam dan Hawa hidup di Taman Firdaus. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengelola lingkungan dan mengolah sumberdaya secara aktif sesuai dengan seleranya. Karena itulah manusia mengembangkan kebiasaan yang melembaga dalam struktur sosial dan kebudayaan mereka. Karena kemampuannya beradaptasi secara aktif itu pula, manusia berhasil menempatkan diri sebagai makhluk yang tertinggi derajatnya di muka bumi dan paling luas persebarannya memenuhi dunia.
Di lain pihak, kemampuan manusia membina hubungan dengan lingkungannya secara aktif itu telah membuka peluang bagi pengembangan berbagai bentuk organisasi dan kebudayaan menuju peradaban. Dinamika sosial itu telah mewujudkan aneka ragam masyarakat dan kebudayaan dunia, baik sebagai perwujudan adaptasi kelompok sosial terhadap lingkungan setempat maupun karena kecepatan perkembangannya.

Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia
Dinamika sosial dan kebudayaan itu, tidak terkecuali melanda masyarakat Indonesia, walaupun luas spektrum dan kecepatannya berbeda-beda. Demikian pula masyarakat dan kebudayaan Indonesia pernah berkembang dengan pesatnya di masa lampau, walaupun perkembangannya dewasa ini agak tertinggal apabila dibandingkan dengan perkembangan di negeri maju lainnya. Betapapun, masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang beranekaragam itu tidak pernah mengalami kemandegan sebagai perwujudan tanggapan aktif masyarakat terhadap tantangan yang timbul akibat perubahan lingkungan dalam arti luas maupun pergantian generasi.

Ada sejumlah kekuatan yang mendorong terjadinya perkembangan sosial budaya masyarakat Indonesia. Secara kategorikal ada 2 kekuatan yang memicu perubahan sosial, Petama, adalah kekuatan dari dalam masyarakat sendiri (internal factor), seperti pergantian generasi dan berbagai penemuan dan rekayasa setempat. Kedua, adalah kekuatan dari luar masyarakat (external factor), seperti pengaruh kontak-kontak antar budaya (culture contact) secara langsung maupun persebaran (unsur) kebudayaan serta perubahan lingkungan hidup yang pada gilirannya dapat memacu perkembangan sosial dan kebudayaan masyarakat yang harus menata kembali kehidupan mereka .
Betapapun cepat atau lambatnya perkembangan sosial budaya yang melanda, dan factor apapun penyebabnya, setiap perubahan yang terjadi akan menimbulkan reaksi pro dan kontra terhadap masyarakat atau bangsa yang bersangkutan. Besar kecilnya reaksi pro dan kontra itu dapat mengancam kemapanan dan bahkan dapat pula menimbulkan disintegrasi sosial terutama dalam masyarakat majemuk dengan multi kultur seperti Indonesia.

Perkembangan Budaya dan Sosial
Masyarakat Indonesia  ini sedang mengalami masa pancaroba yang amat dahsyat sebagai akibat tuntutan reformasi secara menyeluruh. Sedang tuntutan reformasi itu berpangkal pada kegiatan pembangunan nasional yang menerapkan teknologi maju untuk mempercepat pelaksanaannya. Di lain pihak, tanpa disadari, penerapan teknologi maju itu menuntut acuan
nilai-nilai budaya, norma-norma sosial dan orientasi baru. Tidaklah mengherankan apabila masyarakat Indonesia yang majemuk dengan multi kulturalnya itu seolah-olah mengalami kelimbungan dalam menata kembali tatanan sosial, politik dan kebudayaan dewasa ini.

Penerapan Teknologi Maju
Penerapan teknologi maju untuk mempercepat pembangunan nasional selama 32 tahun yang lalu telah menuntut pengembangan perangkat nilai budaya, norma sosial disamping ketrampilan dan keahlian tenaga kerja dengan sikap mental yang mendukungnya. Penerapan teknologi maju yang mahal biayanya itu memerlukan penanaman modal yang besar (intensive capital investment); Modal yang besar itu harus dikelola secara professional (management) agar dapat mendatangkan keuntungan materi seoptimal mungkin; Karena itu juga memerlukan tenaga kerja yang berketerampilan dan professional dengan orientasi senantiasa mengejar keberhasilan (achievement orientation).

Tanpa disadari, kenyataan tersebut, telah memacu perkembangan tatanan sosial di segenap sektor kehidupan yang pada gilirannya telah menimbulkan berbagai reaksi pro dan kontra di kalangan masyarakat. Dalam proses perkembangan sosial budaya itu, biasanya hanya mereka yang mempunyai berbagai keunggulan sosial-politik, ekonomi dan teknologi yang akan keluar sebagai pemenang dalam persaingan bebas. Akibatnya mereka yang tidak siap akan tergusur dan semakin terpuruk hidupnya, dan memperlebar serta memperdalam kesenjangan sosial yang pada gilirannya dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang memperbesar potensi konflik sosial.dalam masyarakat majemuk dengan multi kulturnya.

Keterbatasan Lingkungan (Environment Scarcity)
Penerapan teknologi maju yang mahal biayanya cenderung bersifat exploitative dan expansif dalam pelaksanaannya. Untuk mengejar keuntungan materi seoptimal mungkin, mesin-mesin berat yang mahal harganya dan biaya perawatannya, mendorong pengusaha untuk menggunakannya secara intensif tanpa mengenal waktu. Pembabatan hutan secara besar- besaran tanpa mengenal waktu siang dan malam, demikian juga mesin pabrik harus bekerja terus menerus dan mengoah bahan mentah menjadi barang jadi yang siap di lempar ke pasar. Pemenuhan bahan mentah yang diperlukan telah menimbulkan tekanan pada lingkungan yang pada gilirannya mengancam kehidupan penduduk yang dilahirkan, dibesarkan dan mengembangkan kehidupan di lingkungan yang di explotasi secara besar-besaran.

Di samping itu penerapan teknologi maju juga cenderung tidak mengenal batas lingkungan geografik, sosial dan kebudayaan maupun politik. Di mana ada sumber daya alam yang diperlukan untuk memperlancar kegiatan industri yang ditopang dengan peralatan modern, kesana pula mesin-mesin modern didatangkan dan digunakan tanpa memperhatikan kearifan lingkungan (ecological wisdom) penduduk setempat.
Ketimpangan sosial-budaya antar penduduk pedesaan dan perkotaan ini pada gilirannya juga menjadi salah satu pemicu perkembangan norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya yang befungsi sebagai pedoman dan kerangka acuan penduduk perdesaan yang harus mampu memperluas jaringan sosial secara menguntungkan. Apa yang seringkali dilupakan orang adalah lumpuhnya pranata sosial lama sehingga penduduk seolah-olah kehilangan pedoman dalam melakukan kegiatan. Kalaupun pranata sosial itu masih ada, namun tidak berfungsi lagi dalam menata kehidupan penduduk sehari-hari. Seolah-olah telah terjadi kelumpuhan sosial seperti kasus lumpur panas Sidoarjo, pembalakan liar oleh orang kota, penyitaan kayu tebangan tanpa alas an hokum yang jelas, penguasaan lahan oleh mereka yang tidak berhak.
Kelumpuhan sosial itu telah menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan dan berlanjut
dengan pertikaian yang disertai kekerasan ataupun amuk.

Peraturan dan Perundang-undangan
Sejumlah peraturan dan perundang-undangan diterbitkan pemerintah untuk melindungi hak dan kewajiban segenap warganegara, seperti UU Perkawinan monogamous, pengakuan HAM dan pengakuan kesetaraan gender serta pengukuhan “personal, individual ownership” atas kekayaan keluarga mulai berlaku dan mempengaruhi sikap mental penduduk dengan segala akibatnya.

Pendidikan
Kekuatan perubahan yang sangat kuat, akan tetapi tidak disadari oleh kebanyakan orang adalah pendidikan. Walaupun pendidikan di manapun merupakan lembaga sosial yang terutama berfungsi untuk mempersiapkan anggotanya menjadi warga yang trampil dan bertanggung jawab dengan penanaman dan pengukuhan norma sosial dan nilai-nilai budaya yang berlaku, namun akibat sampingannya adalah membuka cakrawala dan keinginan tahu peserta didik. Oleh karena itulah pendidikan dapat menjadi kekuatan perubahan sosial yang amat besar karena menumbuhkan kreativitas peserta didik untuk mengembangkan pembaharuan (innovation).

Di samping kreativitas inovatif yang membekali peserta didik, keberhasilan pendidikan menghantar seseorang untuk meniti jenjang kerja membuka peluang bagi mobilitas sosial yang bersangkutan. Pada gilirannya mobilitas sosial untuk mempengaruhi pola-pola interaksi sosial atau struktur sosial yang berlaku. Prinsip senioritas tidak terbatas pada usia, melainkan juga senioritas pendidikan dan jabatan yang diberlakukan dalam menata hubungan sosial dalam masyarakat.

Dengan demikian pendidikan sekolah sebagai unsur kekuatan perubahan yang diperkenalkan dari luar, pada gilirannya menjadi kekuatan perubahan dari dalam masyarakat yang amat potensial. Bahkan dalam masyarakat majemuk Indonesia dengan multi kulturnya, pendidikan mempunyai fungsi ganda sebagai sarana integrasi bangsa yang menanamkan saling pengertian dan penghormatan terhadap sesama warganegara tanpa membedakan asal-usul dan latar belakang sosial-budaya, kesukubangsaan, keagamaan, kedaerahan dan rasial. Pendidikan sekolah juga dapat berfungsi sebagai peredam potensi konflik dalam masyarakat majemuk dengan multi kulurnya, apabila diselenggarakan dengan benar dan secara berkesinambungan.
Di samping pendidikan, penegakan hukum diperlukan untuk menjain keadilan sosial dan demokratisasi kehidupan berbangsa dalam era reformasi yang memicu perlembangan sosial- budaya dewasa ini. Kebanyakan orang tidak menyadari dampak sosial reformasi, walaupun mereka dengan lantangnya menuntut penataan kembali kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sesungguhnya reformasi mengandung muatan perubahan sosial-budaya yang harus diantisipasi dengan kesiapan masyarakat untuk menerima pembaharuan yang seringkali menimbulkan ketidak pastian dalam prosesnya.

Tanpa penegakan hukum secara transparan dan akuntabel, perkembangan sosial-budaya di Indonesia akan menghasilkan bencana sosial yang lebih parah, karena hilangnya kepercayaan masyarakat akan mendorong mereka untuk bertindak sendiri sebagaimana nampak gejala awalnya dewasa ini. Lebih berbahaya lagi kalau gerakan sosial itu diwarnai kepercayaan keagamaan, seperti penatian datangnya ratu adil dan gerakan pensucian (purification) yang mengharamkan segala pembaharuan yang dianggap sebagai “biang” kekacauan.
Betapa pun masyarakat harus siap menghadapi perubahan sosial budaya yang diniati dan mulai dilaksanakan dengan reformasi yang mengandung makna perkembangan ke arah perbaikan tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Kesimpulan
Pada perkembangan sosial budaya masyarakat Indonesia. Secara kategorikal ada 2 kekuatan yang memicu perubahan sosial, Petama, adalah kekuatan dari dalam masyarakat sendiri (internal factor), seperti pergantian generasi dan berbagai penemuan dan rekayasa setempat. Kedua, adalah kekuatan dari luar masyarakat (external factor), seperti pengaruh kontak-kontak antar budaya (culture contact) secara langsung maupun persebaran (unsur) kebudayaan serta perubahan lingkungan hidup yang pada gilirannya dapat memacu perkembangan sosial dan kebudayaan masyarakat yang harus menata kembali kehidupan mereka .

Daftar Pustaka


Konflik Antar Suku


Kalau kita pernah merasakan sekolah SD, kita pasti pernah belajar PPKn (PMP atau PKN) mengenai tenggang rasa, toleransi, saling menghargai dan lain sebagainya yang pada intinya mengajarkan kita bagaimana untuk berinteraksi dengan baik dalam masyarakat  majemuk Indonesia. Masyarakat Indonesia bisa dikatakan majemuk karena walaupun terikat dalam institusi politik Negara, namun secara kebudayaan mempunyai keanekaragaman yang tidak bisa di campur. Namun apa yang terjadi? Media akhir-akhir ini begitu deras memberitakan mengenai konflik sosial seperti di CafĂ© Blowfish, Tarakan, tempat lain-lainnya. hal ini menunjukkan buruknya sikap tenggang rasa, toleransi dan saling menghargai oleh anak negeri ini. Namun dibalik semua konflik-konflik horizontal antar masyarakat tersebut, apakah yang menjadi latar belakang utama terjadinya konflik itu? Dan bagaimana penyeselaiannya serta pencegahan agar kasus-kasus serupa tidak terjadi kembali? Mengingat Negara Amerika saja yang juga merupakan melting pot dari berbagai kebudayaan dari penjuru dunia tidak sampai terjadi konflik terbuka seperti itu.

Kemajemukan akan menjurus ke arah konflik yang sangat potensial apabila faktor kemajemukan horizontal bersatu dengan faktor kemajemukan vertikal. Dengan kata lain, apabila suatu kelompok etnis tertentu tidak hanya dibedakan dengan kelompok etnis lainnya karena faktor-faktor “ascribed” (faktor Horizontal) lainnya seperti bahasa daerah, agama, dan lain-lain, tetapi juga karena perbedaan faktor “achievement” (faktor Vertikal) seperti ekonomi, pemukiman dan kedudukan politis, maka intensitas konflik akan dapat menjurus kepada suasana permusuhan. Sebaliknya, apabila kemajemukan faktor-faktor horizontal tidak diperkuat oleh faktor-faktor vertikal, maka intensitas konflik sangat kecil dan mudah untuk dijuruskan kepada persesuaian atau harmoni. Sederhananya dapat dikatakan bahwa faktor utama dari konflik terbuka dalam masyarakat adalah faktor achievement yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan faktor ascribed (terkecuali bila dimasukkan juga perspektif generalisasi dan asumsi). Sedangkan faktor ascribed cenderung hanya menghasilkan konflik kecil (tertutup) dan lebih mudah untuk di harmonisasikan. Namun bilamana faktor horizontal ini diperkuat dengan jiwa etnosentrisme yang kental maka faktor horizontal itu sendiri akan menjadi sama esensialnya seperti faktor vertikal dan dapat menghasilkan konflik terbuka.

Maraknya kekerasan massa yang melanda negeri ini menjadi bukti rakyat tengah mengalami frustrasi sosial. Kondisi itu terjadi karena beberapa faktor yang saling memengaruhi, seperti lemahnya penegakan hukum, ketiadaan keteladanan dari elite politik, dan kemiskinan. Masyarakat semakin frustrasi sebab kondisi karut-marut itu terjadi di depan mata mereka. Selain merasakannya sehari-hari, rakyat juga melihat kondisi yang membuat frustrasi itu melalui media massa hampir setiap hari.

Dalam kasus bentrokan yang terjadi PN. Jakarta Selatan dapat dilihat bahwa pelaku keributan berasal dari dua suku bangsa yang berasal dari wilayah yang berbeda. Kejadian kerusuhan di depan PN Jakarta Selatan adalah buntut dari perkelahian antar dua kelompok suku yaitu Ambon dan Flores yang  di Blowfish, klub kongkow elite di Jakarta yang bertempat di Plaza City sekitar pukul 01.00 wib. Perkelahian bermula saat seorang pemuda yang berusaha menerabas masuk klub. Saat petugas keamanan melarang masuk, ia memaksa dan memukuli petugas keamanan namun akhirnya pemuda itu dipukuli oleh petugas keamanan. Aksi itu berbutut panjang karena tewasnya dua orang petugas keamanan mulai dari keributan saat dipersidangan perdana kasus tersebut hingga terakhir keributan yang pecah didepan PN Jakarta Selatan.

Ancaman konflik antar-kelompok kini harus dapat serius kita waspadai. Konflik berkepanjangan antar-kelompok dapat merusak sendi-sendi kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ancaman konflik kini sedang menerpa kehidupan kita dan bila kita lengah, peristiwa kelam masa lalu dapat terulang dan bukan tidak mungkin dapat lebih besar dan lebih luas di seantero negeri ini.
Sebenarnya kejadian tersebut dapat dicegah terlebih dahulu dan tindakan apa yang perlu dilakukan supaya kasus tersebut tidak berkelanjutan dengan melihat faktor-faktor penyebabnya. Dalam analisis saya ini terdapat beberapa faktor penyebab kerusuhan di depan PN Jakarta selatan saat sidang kasus Blowfish.

Faktor tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Perebutan wilayah kekuasaan yang melibatkan dua suku bangsa hal ini lebih diakibatkan karena Kurangnya tingkat kesejahteraan masyarakat sehingga cenderung melalui cara instan dan cepat yang melanggar hukum.
2.      Pemberitaan – pemberitaan media masa yang terlalu berlebihan yang menimbulkan emosi antara kedua belah pihak yang bertikai.
3.      Kurangnya koordinasi antara aparat penegak hukum dan pemerintah dalam hal ketegasan  bila ada hal yang destruktif (tindakan kekerasan).
4.      Kurang cepatnya penanganan kasus awal penyebab kerusuhan di PN.Jakarta Selatan sehingga masyarakat merasa tidak puas dan mencari penyelesaian sendiri.
5.      Eksistensi Bhinneka Tunggal Ika  yang dimaksud disini adalah Semboyan negara kita Bhinnekka Tunggal Ika merupakan cerminan kenyataan aktual dari masyarakat Indonesia yang terdiri atas lebih dari 500 suku bangsa yang masing-masing memiliki jatidiri sukubangsa dan kebudayaan. Tidak dapat dipungkiri, kemajemukan bangsa Indonesia bagaikan pedang bermata dua, yang pada satu sisi dapat teraktivasi sebagai faktor pemersatu namun di satu sisi lainnya dapat menyebabkan perpecahan. Berdasarkan contoh riil kejadian diatas, dapat dilihat bahwa kekentalan aroma kesukubangsaan yang dipandang secara sempit oleh masing masing pihak yang mengutamakan jatidiri suku bangsa Ambon dan Flores telah menjadi pemicu konflik tersebut yang menjadikan mereka lupa pada jatidiri yang lebih besar sebagai bangsa Indonesia, yaitu jatidiri nasional yang memandang bahwa adanya kenyataan berupa perbedaan dalam keanekaragaman sukubangsa-sukubangsa di Indonesia namun tetap satu jua dalam semangat negara kesatuan Republik Indonesia. Sehingga dalam kejadian tersebut terdapat kenyataan bahwa ternyata Bhinneka Tunggal Ika belum sepenuhnya mendarah daging pada diri sebagian warga negara Indonesia tersebut yang mengutamakan primordialisme kesukubangsaannya dalam menyelesaikan permasalahan
Harus diakui atau tidak bahwa gesekan-gesekan horizontal yang terjadi di masyarakat merupakan akibat dari tidak adanya kepercayaan pubik terhadap institusi pelayanan masyarakat diberbagai bidang, terutama hukum dan ekonomi sehingga masyarakat cenderung mencari cara-cara dan alternatif lain yang dinilai singkat untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapinya. Dari berbagai kasus kerusuhan yang timbul bila kita cermati ini ditimbulkan oleh perselisihan-perselisihan kecil yang terjadi di masyarakat yang penyelesaiannya tidak pernah tuntas dan tidak pernah memberikan keadilan yang berpihak pada publik (walaupun kita tahu bahwa rasa keadilan itu bersifat subjektif), sehingga publik dalam hal ini masyarakat selalu menyelesaikan konflik-konflik tersebut melalui sudut pandang mereka. Sudut pandang inilah uang sering dijadikan masyarakat sebagian masyarakat sebagai suatu pembenaran universal yang tumbuh dari opini dan latar belakang budaya kontemporer yang tumbuh di masyarakat. Isu-siu yang berkembang dalam kerusuhan sering kali menjebak dan cenderung melebar dari permasalahan sebenarnya, oleh karena itu dibutuhkannya lembaga yang benar-benar bisa dipercaya dalam menyelesaikan setiap konflik yang terjadi dengan melibatkan seluruh unsur yang ada di masyarakat mulai dari tokoh masyarakat, tokoh budaya, pemimpin non formal masyarkat dan baru pada unsur terakhir bisa dilibatkan pihak kepolisian.
Plurarisme pada masyarakat indonesia sangat mudah untuk dibenturkan dan di pecah belah terutama terhadap isu keagamaan dan kesukuan. Dalam beberapa kejadiian ini menjadi konflik yang sangat rumit yang mingkin penyelesaiannya cenderung berlarut-berlarut karena adanya ego dari suatu kelompok kepentingan (yang mungkin mendapatkan keuntungan dari adanya kerusuhan). Arus informasi (dalam hal ini pemberitaan media) kerap kali di tuding menjadi suatu pemicu semakin meluasnya suatu kerusuhan, terutama dari pemberitaan media yang terlalu propokatif dalam menempatkan judul beritanya seakan mengajak para pembacanya terlibat lebih jauh. Pemberitaan berimbang dan memberikan fakta aktual yang layak jadi informasi publik memang harus, tetapi jangan sampai meninggalkan latar belakang sosiologis dari masyarakat juga karena itu akan berdampak buruk bagi konflik tersebut. Seakan ada dualisme kepentingan yang dijalankan media melalui pemberitaannya, yaitu tentang memberikan informasi dan menggiring opini publik pada kepentingan penguasa. Betapa kuaatnya peran media ini kadang tidak pernah disadari oleh masyarakat kelas bawah, mereka seakan selalu menjadi pihak yang dinilai pelanggar atau pemicu dari kerusuhan. Walaupun harus kita akui bahwa banyak diantara yang terlibat kerusuhan itu tidak mengetahui akar masalah yang sebenarnya dan dieksploitasi sedemikian rupa. Mungkin mereka terbentuk dari kerumunan yang yang baik itu secara langsung atau pun tidak terbawa arus. Karena memang kerusuhan itu masalah yang kompleks .                      
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk penyelesaian konflik tersebut, yaitu :
1.       Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga dalam hal ini pemerintah dan aparat penegak hukum yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak dengan memberikan sanksi yang tegas apabila. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal.
2.      Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat.
3.      Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama..
4.      Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur .
5.      Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan dengan mengutamakan sisi keadilan dan tidak memihak kepada siapapun.

Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :
a.       Aspek kualitas warga sukubangsa
1)       Perlunya diberikan pemahaman dan pembinaan mental secara konsisten dan berkesinambungan terhadap para warga sukubangsa di Indonesia terhadap eksistensi Bhinneka Tunggal Ika sebagai faktor pemersatu keanekaragaman di Indonesia, bukan sebagai faktor pemicu perpecahan atau konflik.
2)       Perlunya diberikan pemahaman kepada para pihak yang terlibat konflik untuk meniadakan stereotip dan prasangka yang ada pada kedua belah pihak dengan cara memberikan pengakuan bahwa masing-masing pihak adalah sederajat dan melalui kesederajatan tersebut masing-masing anggota sukubangsa berupaya untuk saling memahami perbedaan yang mereka punyai serta menaati berbagai norma dan hukum yang berlaku di dalam masyarakat.
3)       Adanya kesediaan dari kedua belah pihak yang terlibat konflik untuk saling memaafkan dan melupakan peristiwa yang telah terjadi.
b.      Penerapan model Polmas secara sinkron dengan model Patron-Klien. terjadinya perdamaian pada konflik antar sukubangsa yang telah terwujud dalam sebuah konflik fisik tidaklah mudah sehingga perlu adanya campur tangan pihak ketiga yang memiliki kapabilitas sebagai orang atau badan organisasi yang dihormati dan dipercaya kesungguhan hatinya serta ketidakberpihakannya terhadap kedua belah pihak yang terlibat konflik. Peran selaku pihak ketiga dimaksud dapat dilakukan oleh Polri sebagai ”juru damai” dalam rangka mewujudkan situasi yang kondusif dalam hubungan antar sukubangsa dengan memberi kesempatan terjadinya perdamaian dimaksud seiring berjalannya proses penyidikan yang dilandasi pemikiran pencapaian hasil yang lebih penting dari sekedar proses penegakkan hukum berupa keharmonisan hubungan antar sukubangsa yang berkesinambungan. Dalam hal ini, Polri dapat menerapkan metode Polmas dengan melibatkan para tokoh dari masing-masing suku bangsa Ambon dan Flores yang merupakan Patron dari kedua belah pihak yang terlibat konflik yang tujuannya adalah agar permasalahan yang terjadi dapat terselesaikan secara arif dan bijaksana oleh, dari dan untuk kedua sukubangsa dimaksud termasuk dalam hal menghadapi permasalahan- permasalahan lainnya di waktu yang akan datang.
Dalam masa pra konflik biasanya banyak ditandai dengan kejadian-kejadian konflik antar individu yang akan berlanjut menjadi konflik antar kelompok atau golongan.misalnya dalam kasus bentrokan di depan PN Jakarta selatan perkelahian antar seorang pemuda dari suku yang berbeda biasanya akan berlanjut ke tahap eskalasi yang lebih besar. Dalam hal ini polisi diharapkan agar cepat tanggap dapat melakukan kegiatan penangkapan untuk dilanjutkan ke proses hukum terhadap para pelaku agar menimbulkan efek jera bagi warga lain dalam suku tersebut ,sehingga pra konflik tidak akan terjadi konflik sehingga akar permasalahan dapat diketahui.Frekuensi tingkat patrol polisi dan peran serta masyarakat, pemuka agama dan pemuka adat atau perpolisian masyarakat (polmas) harus terus ditingkatkan dan diupayakan kedaerah-daerah rawan pra konflik hal ini dilakukan agar penyampaian informasi - informasi yang berkaitan dengan kasus tersebut dapat segera diberikan dan disampaikan kepada aparat penegak hukum khususnya polisi sehingga bentrokan yang sama dapat dicegah dan tidak lagi terjadi.
Konflik akan menjadi pressure bagi warga untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang mengarah ke konflik.giat polmas akan menimbulkan kesadaran hukum akan pentingnya hidup bersoasial dan rasa tentram dalam kehidupan bermasyarakat,jika muncul perang antar kelompok,maka polisi harus segera menengahi konflik fisik atau perang yang sedang atau yang akan segera terjadi dengan cara mengirimkan pasukan yang kekuatannya lebih besar dibanding yang berperan,namun semua tindakan tersebut diatas akan akan menjadi sia-sia apabila kedua suku bangsa tersebut tidak ada upaya atau komitmen yang kuat diluar dari perdamaian untuk keharmonisan hubungan yang lebih baik sebagaimana yang berlaku didalam hidup bermasyarakat.Perlu juga dilakukan pendidikan moralitas dan pendalaman ajaran agama masing-masing yang menekankan akan pentingnya saling menghargai dan hormat- menghormati dengan penuh toleransi antar umat beragama, tentunya juga partsipasi tokoh-tokoh masyarakat baik pemuka agama dan pemimpin etnis juga sangat diharapkan. kerjasama ini harus dibindengan berkesinambungan.Pihak ketigayang netral harus selalu siap memfasilitasi dan mengawasi hubungantersebut demi terciptanya keamanan dan ketertiban didalam masyarakat

Kesimpulan
Disadari atau tidak perdamaian dan suasana yang kondusif adalah suatu hal yang sangat diidamkan oleh masyarakat negeri ini. perlunya  peran pemerintah dan kerjasama antara elemen masyarakat. Perspektif konflik antara sukubangsa Ambon dan Flores yang terjadi didepan PN Jakarta Selatan tersebut diatas terutama disebabkan pengaktifan sentimen kesukubangsaan secara sempit dan subyektif yang diinterpretasikan sebagai perbuatan yang melukai harga diri dan kehormatan masing – masing sukubangsa Ambon dan sukubangsa Flores yang selanjutnya terwujud sebagai konflik fisik yang bertujuan melakukan penghancuran harta benda bahkan saling mengacam untuk memusnahkan jiwa kedua belah pihak yang bertikai.

Kurangnya pemahaman dan internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika oleh generasi muda tersebut turut memicu munculnya aroganisme yang mengakibatkan  konflik antar sukubangsa yang semestinya tidak terjadi apabila nilai-nilai dimaksud telah tertanam dalam tiap-tiap individu mereka, walaupun tidak bias dipungkiri pula faktor Ekonomi adalah salah satu sebab lain yang memiliki andil dalam kejadian tersebut.

Aspek individu pihak-pihak yang terlibat konflik melalui pemberian pemahaman dan pembinaan mental secara konsisten dan berkesinambungan terhadap eksistensi Bhinneka Tunggal Ika, peniadaan stereotip dan prasangka serta kesediaan saling memaafkan antar satu sukubangsa dengan sukubangsa lainnya. Cara lainnya yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah upaya untuk pemerataan dibidang ekonomi dan pembangunan dengan cara penyedian sumber-sumber lapangan pekerjaan yang lebih banyak dan merata diseluruh Indonesia sehingga tidak terjadi penumpukan penduduk disalah satu wilayah yang menimbulkan dampak lain seperti pengangguran. Guna mewujudkan keharmonisan hubungan antar sukubangsa dalam interaksi sosial, Polri dapat berperan di dalamnya dengan menerapkan model Polmas melalui pemberdayaan para tokoh yang merupakan Patron dari masing- masing sukubangsa yang terlibat konflik sehingga terjadi hubungan dan kerjasama yang berkesinambungan antara masing masing sukubangsa tersebut.
Apapun juga prosedur dan mekanisme yang dibangun untuk mengantisipasi dan  mengatasi konflik, dan betapapun efektifnya berdasarkan rancangannya, semua itu akan sia-sia saja manakala para warga tidak hendak mentransformasi dirinya menjadi insan-insan yang berorientasi inklusivisme.  Berkepribadian sebagai eksklusivis, warga tidak hendak menyatukan dirinya ke puak lain, bahkan, alih-alih demikian, ia besikap konfrontatif dengan puak lain.  Bersikap konfrontatif, ujung akhir penyelesaian konflik yang dibayangkan hanyalah “menang atau kalah”, dan bahwa the winner will takes all serta pula bahwa to the winner the spoil.  Matinya yang kalah akan menjadi rotinya sang pemenang, iemands dood, iemands brood.  Apabila konflik yang terjadi berlangsung pada model yang demikian ini, yang tak muhal bisa terjadi juga dalam masyarakat yang demokratik, akibat yang serius mestilah diredam atau dilokalisasi; ialah dicegah untuk menjadi terbatas hanya berkenaan dengan pihak-pihak yang berselisih saja, yang “pertarungannya” dan “perampasan harta kemenangan” akan diatur berdasarkan aturan-aturan permainan yang telah ditetapkan bersama (misalnya aturan perundang-undangan) yang telah dimengerti dan disosialisasikan.

DAFTAR PUSTAKA
http://mascondro212.blogspot.com/2011/05/konflik-antar-suku-bangsa-dan-upaya_16.html

Kerukunan Antar Umat Beragama


Kerukunan merupakan kebutuhan bersama yang tidak dapat dihindarkan di Tengah perbedaan. Perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang untuk hidup rukun dan berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan. Kesadaran akan kerukunan hidup umat beragama yang harus bersifat Dinamis, Humanis dan Demokratis, agar dapat ditransformasikan kepada masyarakat dikalangan bawah sehingga, kerukunan tersebut tidak hanya dapat dirasakan/dinikmati oleh kalangan-kalangan atas/orang kaya saja. Karena, Agama tidak bisa dengan dirinya sendiri dan dianggap dapat memecahkan semua masalah. Agama hanya salah satu faktor dari kehidupan manusia.

Mungkin faktor yang paling penting dan mendasar karena memberikan sebuah arti dan tujuan hidup. Tetapi sekarang kita mengetahui bahwa untuk mengerti lebih dalam tentang agama perlu segi-segi lainnya, termasuk ilmu pengetahuan dan juga filsafat. Yang paling mungkin adalah mendapatkan pengertian yang mendasar dari agama-agama. Jadi, keterbukaan satu agama terhadap agama lain sangat penting.
Kalau kita masih mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa hanya agama kita sendiri saja yang paling benar, maka itu menjadi penghalang yang paling berat dalam usaha memberikan sesuatu pandangan yang optimis. Namun ketika kontak-kontak antaragama sering kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka muncul paradigma dan arah baru dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi bersikap negatif dan apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan positif atas kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling pengertian.

Di masa lampau, kita berusaha menutup diri dari tradisi agama lain dan menganggap agama selain agama kita sebagai lawan yang sesat serta penuh kecurigaan terhadap berbagai aktivitas agama lain, maka sekarang kita lebih mengedepankan sikap keterbukaan dan saling menghargai satu sama lain.

Kendala-Kendala

1. Rendahnya Sikap Toleransi
Menurut Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah satu masalah dalam komunikasi antar agama sekarang ini, khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance) sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola perjumpaan tak langsung (indirect encounter) antar agama, khususnya menyangkut persoalan teologi yang sensitif. Sehingga kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Tentu saja, dialog yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang berbeda keyakinan/agama sama-sama menjaga jarak satu sama lain.
Masing-masing agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi hanyalah perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya. Sehingga dapat menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda agama, maka akan timbullah yang dinamakan konflik.

2. Kepentingan Politik
Faktor Politik, Faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam mncapai tujuan sebuah kerukunan antar umat beragama khususnya di Indonesia, jika bukan yang paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan antar agama telah dibangun dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun, dan dengan demikian kita pun hampir memetik buahnya.

Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan mudahnya merontokkan “bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan. Seperti yang sedang terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis melihat political upheavels di negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan lagi air mata, tetapi darah; darah saudara-saudara kita, yang mudah-mudahan diterima di sisi-Nya. Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan tidak mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik juga kita seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya.

3. Sikap Fanatisme
Di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang. Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin selamat, ia harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah.
Pandangan-pandangan semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte atau aliran dalam agama tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para pemimpinnya sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang bertentangan. Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif seperti ini. Kelompok Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama gereja adalah mengajak mereka yang percaya untuk meningkatkan keimanan dan mereka yang berada “di luar” untuk masuk dan bergabung. Bagi kelompok ini, hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang akan dianugerahi salvation atau keselamatan abadi. Dengan saling mengandalkan pandangan-pandangan setiap sekte dalam agama teersebut, maka timbullah sikap fanatisme yang berlebihan.
Dari uraian diatas, sangat jelas sekali bahwa ketiga faktor tersebut adalah akar dari permasalahan yang menyebabkan konflik sekejap maupun berkepanjangan.

Solusi

1. Dialog Antar Pemeluk Agama
Sejarah perjumpaan agama-agama yang menggunakan kerangka politik secara tipikal hampir keseluruhannya dipenuhi pergumulan, konflik dan pertarungan. Karena itulah dalam perkembangan ilmu sejarah dalam beberapa dasawarsa terakhir, sejarah yang berpusat pada politik yang kemudian disebut sebagai “sejarah konvensional” dikembangkan dengan mencakup bidang-bidang kehidupan sosial-budaya lainnya, sehingga memunculkan apa yang disebut sebagai “sejarah baru” (new history). Sejarah model mutakhir ini lazim disebut sebagai “sejarah sosial” (social history) sebagai bandingan dari “sejarah politik” (political history). Penerapan sejarah sosial dalam perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia akan sangat relevan, karena ia akan dapat mengungkapkan sisi-sisi lain hubungan para penganut kedua agama ini di luar bidang politik, yang sangat boleh jadi berlangsung dalam saling pengertian dan kedamaian, yang pada gilirannya mewujudkan kehidupan bersama secara damai (peaceful co-existence) di antara para pemeluk agama yang berbeda.
Hampir bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga agama-agama lain) akan terus meningkat di masa-masa datang. Sejalan dengan peningkatan globalisasi, revolusi teknologi komunikasi dan transportasi, kita akan menyaksikan gelombang perjumpaan agama-agama dalam skala intensitas yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak ada lagi suatu komunitas umat beragama yang bisa hidup eksklusif, terpisah dari lingkungan komunitas umat-umat beragama lainnya. Satu contoh kasus dapat diambil: seperti dengan meyakinkan dibuktikan Eck (2002), Amerika Serikat, yang mungkin oleh sebagian orang dipandang sebagai sebuah “negara Kristen,” telah berubah menjadi negara yang secara keagamaan paling beragam. Saya kira, Indonesia, dalam batas tertentu, juga mengalami kecenderungan yang sama. Dalam pandangan saya, sebagian besar perjumpaan di antara agama-agama itu, khususnya agama yang mengalami konflik, bersifat damai. Dalam waktu-waktu tertentu ketika terjadi perubahan-perubahan politik dan sosial yang cepat, yang memunculkan krisis pertikaian dan konflik sangat boleh jadi meningkat intensitasnya. Tetapi hal ini seyogyanya tidak mengaburkan perspektif kita, bahwa kedamaian lebih sering menjadi feature utama. Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat saya, banyak bersumber dari pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau bidang-bidang yang secara longgar dapat disebut sebagai “non-agama.”
Bahkan terjadi juga pertukaran yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan keagamaan melalui dialog-dialog antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat domestik di Indonesia maupun pada tingkat internasional; ini jelas memperkuat perjumpaan secara damai tersebut. Melalui berbagai pertukaran semacam ini terjadi penguatan saling pengertian dan, pada gilirannya, kehidupan berdampingan secara damai.

2. Bersikap Optimis
Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka, saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu bersikap pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan menyongsong masa depan dialog.Paling tidak ada tiga hal yang dapat membuat kita bersikap optimis.
Pertama, pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di dalam maupun di luar negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN dan Seminari misalnya, di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga telah didirikan Pusat Studi Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur jagung, hal itu bisa menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan paham keagamaan yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi. Juga bermunculan lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di Yogyakarta, yang memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme agama dan kerukunan antarpenganutnya.

Kedua, para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya. Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Ketiga, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion) dan penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu domba antarpenganut agama.

Jika tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan.

Kesimpulan
Dari pembahasan dalam makalah ini, dapat kami simpulkan berbagai macam bahasan mengenai kerukunan antar umat beragama, yaitu : Kendala-kendala yang dihadapi dalam mencapai kerukunan umat antar beragama ada beberapa sebab, antara lain;
1. Rendahnya Sikap Toleransi
2. Kepentingan Politik dan
3. Sikap Fanatisme
Adapun solusi untuk menghadapinya, adalah dengan melakukan Dialog Antar Pemeluk Agama dan menanamkan Sikap Optimis terhadap tujuan untuk mencapai kerukunan antar umat beragama.

DAFTAR PUSTAKA
Dr. Ali Masrur, M.Ag.,2004,Problem dan Prospek Dialog Antaragama. Artikel. Cfm
Cuolson, N.J. A. History Of Islamic Law. Edinburg : Edinburg University, Press. 1964.
Dr. Ali Masrur, M.Ag.Problem dan Prospek Dialog Antaragama. Artikel.
Ash-Shiddiqieqy, Hasbi TM, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.




gifs
gifs
Welcome to Checklovers.blogspot.com
Website counter

Pertemanan