Kerukunan
merupakan kebutuhan bersama yang tidak dapat dihindarkan di Tengah perbedaan.
Perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang untuk hidup rukun dan
berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan. Kesadaran akan kerukunan
hidup umat beragama yang harus bersifat Dinamis, Humanis dan Demokratis, agar
dapat ditransformasikan kepada masyarakat dikalangan bawah sehingga, kerukunan
tersebut tidak hanya dapat dirasakan/dinikmati oleh kalangan-kalangan
atas/orang kaya saja. Karena, Agama tidak bisa dengan dirinya sendiri dan
dianggap dapat memecahkan semua masalah. Agama hanya salah satu faktor dari
kehidupan manusia.
Mungkin
faktor yang paling penting dan mendasar karena memberikan sebuah arti dan
tujuan hidup. Tetapi sekarang kita mengetahui bahwa untuk mengerti lebih dalam
tentang agama perlu segi-segi lainnya, termasuk ilmu pengetahuan dan juga
filsafat. Yang paling mungkin adalah mendapatkan pengertian yang mendasar dari
agama-agama. Jadi, keterbukaan satu agama terhadap agama lain sangat penting.
Kalau
kita masih mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa hanya agama kita sendiri
saja yang paling benar, maka itu menjadi penghalang yang paling berat dalam
usaha memberikan sesuatu pandangan yang optimis. Namun ketika kontak-kontak
antaragama sering kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka muncul paradigma dan
arah baru dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi bersikap negatif dan
apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan positif atas
kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling
pengertian.
Di masa
lampau, kita berusaha menutup diri dari tradisi agama lain dan menganggap agama
selain agama kita sebagai lawan yang sesat serta penuh kecurigaan terhadap
berbagai aktivitas agama lain, maka sekarang kita lebih mengedepankan sikap
keterbukaan dan saling menghargai satu sama lain.
Kendala-Kendala
1.
Rendahnya Sikap Toleransi
Menurut
Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah satu masalah dalam komunikasi antar agama sekarang
ini, khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan
(lazy tolerance) sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai
akibat dari pola perjumpaan tak langsung (indirect encounter) antar agama,
khususnya menyangkut persoalan teologi yang sensitif. Sehingga kalangan umat
beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Tentu saja,
dialog yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang berbeda
keyakinan/agama sama-sama menjaga jarak satu sama lain.
Masing-masing
agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain
bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi hanyalah
perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya. Sehingga dapat
menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda agama, maka
akan timbullah yang dinamakan konflik.
2.
Kepentingan Politik
Faktor
Politik, Faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam
mncapai tujuan sebuah kerukunan antar umat beragama khususnya di Indonesia, jika
bukan yang paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah
kerukunan antar agama telah dibangun dengan bersusah payah selama
bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun, dan dengan demikian kita pun
hampir memetik buahnya.
Namun tiba-tiba
saja muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan antaragama dan
bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan mudahnya
merontokkan “bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan. Seperti yang sedang
terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis melihat political
upheavels di negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan lagi air
mata, tetapi darah; darah saudara-saudara kita, yang mudah-mudahan diterima di
sisi-Nya. Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan
tidak mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik juga kita
seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya.
3. Sikap
Fanatisme
Di
kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang.
Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman
keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis,
yakni pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat
bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan
kondisi masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya
agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin
selamat, ia harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim,
menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah.
Pandangan-pandangan
semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte atau aliran dalam
agama tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para pemimpinnya sendiri-sendiri.
Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada banyak aliran dan
ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama lain memiliki
pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang bertentangan. Tentu
saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif seperti ini. Kelompok
Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama gereja adalah mengajak
mereka yang percaya untuk meningkatkan keimanan dan mereka yang berada “di
luar” untuk masuk dan bergabung. Bagi kelompok ini, hanya mereka yang bergabung
dengan gereja yang akan dianugerahi salvation atau keselamatan abadi. Dengan
saling mengandalkan pandangan-pandangan setiap sekte dalam agama teersebut,
maka timbullah sikap fanatisme yang berlebihan.
Dari
uraian diatas, sangat jelas sekali bahwa ketiga faktor tersebut adalah akar
dari permasalahan yang menyebabkan konflik sekejap maupun berkepanjangan.
Solusi
1.
Dialog Antar Pemeluk Agama
Sejarah
perjumpaan agama-agama yang menggunakan kerangka politik secara tipikal hampir
keseluruhannya dipenuhi pergumulan, konflik dan pertarungan. Karena itulah
dalam perkembangan ilmu sejarah dalam beberapa dasawarsa terakhir, sejarah yang
berpusat pada politik yang kemudian disebut sebagai “sejarah konvensional”
dikembangkan dengan mencakup bidang-bidang kehidupan sosial-budaya lainnya,
sehingga memunculkan apa yang disebut sebagai “sejarah baru” (new history).
Sejarah model mutakhir ini lazim disebut sebagai “sejarah sosial” (social
history) sebagai bandingan dari “sejarah politik” (political history).
Penerapan sejarah sosial dalam perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia akan
sangat relevan, karena ia akan dapat mengungkapkan sisi-sisi lain hubungan para
penganut kedua agama ini di luar bidang politik, yang sangat boleh jadi
berlangsung dalam saling pengertian dan kedamaian, yang pada gilirannya
mewujudkan kehidupan bersama secara damai (peaceful co-existence) di antara
para pemeluk agama yang berbeda.
Hampir
bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga agama-agama lain) akan
terus meningkat di masa-masa datang. Sejalan dengan peningkatan globalisasi,
revolusi teknologi komunikasi dan transportasi, kita akan menyaksikan gelombang
perjumpaan agama-agama dalam skala intensitas yang tidak pernah terjadi
sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak ada lagi suatu komunitas umat beragama
yang bisa hidup eksklusif, terpisah dari lingkungan komunitas umat-umat
beragama lainnya. Satu contoh kasus dapat diambil: seperti dengan meyakinkan
dibuktikan Eck (2002), Amerika Serikat, yang mungkin oleh sebagian orang
dipandang sebagai sebuah “negara Kristen,” telah berubah menjadi negara yang
secara keagamaan paling beragam. Saya kira, Indonesia, dalam batas tertentu,
juga mengalami kecenderungan yang sama. Dalam pandangan saya, sebagian besar
perjumpaan di antara agama-agama itu, khususnya agama yang mengalami konflik,
bersifat damai. Dalam waktu-waktu tertentu ketika terjadi perubahan-perubahan
politik dan sosial yang cepat, yang memunculkan krisis pertikaian dan konflik
sangat boleh jadi meningkat intensitasnya. Tetapi hal ini seyogyanya tidak
mengaburkan perspektif kita, bahwa kedamaian lebih sering menjadi feature
utama. Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat saya, banyak bersumber dari
pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau bidang-bidang yang
secara longgar dapat disebut sebagai “non-agama.”
Bahkan
terjadi juga pertukaran yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan
keagamaan melalui dialog-dialog antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat
domestik di Indonesia maupun pada tingkat internasional; ini jelas memperkuat
perjumpaan secara damai tersebut. Melalui berbagai pertukaran semacam ini
terjadi penguatan saling pengertian dan, pada gilirannya, kehidupan
berdampingan secara damai.
2.
Bersikap Optimis
Walaupun
berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka, saling
pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu
bersikap pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme
dalam menghadapi dan menyongsong masa depan dialog.Paling tidak ada tiga hal
yang dapat membuat kita bersikap optimis.
Pertama,
pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog
antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di
dalam maupun di luar negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN
dan Seminari misalnya, di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga
telah didirikan Pusat Studi Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur
jagung, hal itu bisa menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan
paham keagamaan yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi. Juga
bermunculan lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di
Yogyakarta, yang memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme
agama dan kerukunan antarpenganutnya.
Kedua,
para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru
dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan,
baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat
dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita
dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para
pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput
sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau
jemaatnya. Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan
menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity)
keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Ketiga,
masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau
provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta
dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik
tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin
teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana
wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion)
dan penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin
agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita
untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar
teror untuk mengadu domba antarpenganut agama.
Jika
tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi
selanjutnya, maka setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan
untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan
lebih sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan.
Kesimpulan
Dari
pembahasan dalam makalah ini, dapat kami simpulkan berbagai macam bahasan
mengenai kerukunan antar umat beragama, yaitu : Kendala-kendala yang dihadapi
dalam mencapai kerukunan umat antar beragama ada beberapa sebab, antara lain;
1.
Rendahnya Sikap Toleransi
2.
Kepentingan Politik dan
3. Sikap
Fanatisme
Adapun
solusi untuk menghadapinya, adalah dengan melakukan Dialog Antar Pemeluk Agama
dan menanamkan Sikap Optimis terhadap tujuan untuk mencapai kerukunan antar
umat beragama.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Ali Masrur, M.Ag.,2004,Problem dan Prospek Dialog
Antaragama. Artikel. Cfm
Cuolson, N.J. A. History Of Islamic Law. Edinburg : Edinburg
University, Press. 1964.
Dr. Ali Masrur, M.Ag.Problem dan Prospek Dialog Antaragama. Artikel.
Ash-Shiddiqieqy, Hasbi TM, Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar