Kalau
kita pernah merasakan sekolah SD, kita pasti pernah belajar PPKn (PMP atau PKN)
mengenai tenggang rasa, toleransi, saling menghargai dan lain sebagainya yang
pada intinya mengajarkan kita bagaimana untuk berinteraksi dengan baik dalam
masyarakat majemuk Indonesia. Masyarakat
Indonesia bisa dikatakan majemuk karena walaupun terikat dalam institusi
politik Negara, namun secara kebudayaan mempunyai keanekaragaman yang tidak
bisa di campur. Namun apa yang terjadi? Media akhir-akhir ini begitu deras memberitakan
mengenai konflik sosial seperti di Café Blowfish, Tarakan, tempat lain-lainnya.
hal ini menunjukkan buruknya sikap tenggang rasa, toleransi dan saling
menghargai oleh anak negeri ini. Namun dibalik semua konflik-konflik horizontal
antar masyarakat tersebut, apakah yang menjadi latar belakang utama terjadinya
konflik itu? Dan bagaimana penyeselaiannya serta pencegahan agar kasus-kasus
serupa tidak terjadi kembali? Mengingat Negara Amerika saja yang juga merupakan
melting pot dari berbagai kebudayaan dari penjuru dunia tidak sampai terjadi
konflik terbuka seperti itu.
Kemajemukan
akan menjurus ke arah konflik yang sangat potensial apabila faktor kemajemukan
horizontal bersatu dengan faktor kemajemukan vertikal. Dengan kata lain,
apabila suatu kelompok etnis tertentu tidak hanya dibedakan dengan kelompok
etnis lainnya karena faktor-faktor “ascribed” (faktor Horizontal) lainnya
seperti bahasa daerah, agama, dan lain-lain, tetapi juga karena perbedaan
faktor “achievement” (faktor Vertikal) seperti ekonomi, pemukiman dan kedudukan
politis, maka intensitas konflik akan dapat menjurus kepada suasana permusuhan.
Sebaliknya, apabila kemajemukan faktor-faktor horizontal tidak diperkuat oleh
faktor-faktor vertikal, maka intensitas konflik sangat kecil dan mudah untuk
dijuruskan kepada persesuaian atau harmoni. Sederhananya dapat dikatakan bahwa
faktor utama dari konflik terbuka dalam masyarakat adalah faktor achievement
yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan faktor ascribed (terkecuali
bila dimasukkan juga perspektif generalisasi dan asumsi). Sedangkan faktor
ascribed cenderung hanya menghasilkan konflik kecil (tertutup) dan lebih mudah
untuk di harmonisasikan. Namun bilamana faktor horizontal ini diperkuat dengan
jiwa etnosentrisme yang kental maka faktor horizontal itu sendiri akan menjadi
sama esensialnya seperti faktor vertikal dan dapat menghasilkan konflik
terbuka.
Maraknya
kekerasan massa yang melanda negeri ini menjadi bukti rakyat tengah mengalami
frustrasi sosial. Kondisi itu terjadi karena beberapa faktor yang saling
memengaruhi, seperti lemahnya penegakan hukum, ketiadaan keteladanan dari elite
politik, dan kemiskinan. Masyarakat semakin frustrasi sebab kondisi karut-marut
itu terjadi di depan mata mereka. Selain merasakannya sehari-hari, rakyat juga
melihat kondisi yang membuat frustrasi itu melalui media massa hampir setiap
hari.
Dalam
kasus bentrokan yang terjadi PN. Jakarta Selatan dapat dilihat bahwa pelaku
keributan berasal dari dua suku bangsa yang berasal dari wilayah yang berbeda.
Kejadian kerusuhan di depan PN Jakarta Selatan adalah buntut dari perkelahian
antar dua kelompok suku yaitu Ambon dan Flores yang di Blowfish, klub kongkow elite di Jakarta
yang bertempat di Plaza City sekitar pukul 01.00 wib. Perkelahian bermula saat
seorang pemuda yang berusaha menerabas masuk klub. Saat petugas keamanan
melarang masuk, ia memaksa dan memukuli petugas keamanan namun akhirnya pemuda
itu dipukuli oleh petugas keamanan. Aksi itu berbutut panjang karena tewasnya
dua orang petugas keamanan mulai dari keributan saat dipersidangan perdana
kasus tersebut hingga terakhir keributan yang pecah didepan PN Jakarta Selatan.
Ancaman
konflik antar-kelompok kini harus dapat serius kita waspadai. Konflik
berkepanjangan antar-kelompok dapat merusak sendi-sendi kehidupan kita
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ancaman konflik kini sedang menerpa
kehidupan kita dan bila kita lengah, peristiwa kelam masa lalu dapat terulang
dan bukan tidak mungkin dapat lebih besar dan lebih luas di seantero negeri
ini.
Sebenarnya
kejadian tersebut dapat dicegah terlebih dahulu dan tindakan apa yang perlu
dilakukan supaya kasus tersebut tidak berkelanjutan dengan melihat
faktor-faktor penyebabnya. Dalam analisis saya ini terdapat beberapa faktor penyebab
kerusuhan di depan PN Jakarta selatan saat sidang kasus Blowfish.
Faktor
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Perebutan wilayah kekuasaan yang
melibatkan dua suku bangsa hal ini lebih diakibatkan karena Kurangnya tingkat
kesejahteraan masyarakat sehingga cenderung melalui cara instan dan cepat yang
melanggar hukum.
2. Pemberitaan – pemberitaan media masa yang
terlalu berlebihan yang menimbulkan emosi antara kedua belah pihak yang
bertikai.
3. Kurangnya koordinasi antara aparat
penegak hukum dan pemerintah dalam hal ketegasan bila ada hal yang destruktif (tindakan
kekerasan).
4. Kurang cepatnya penanganan kasus awal
penyebab kerusuhan di PN.Jakarta Selatan sehingga masyarakat merasa tidak puas
dan mencari penyelesaian sendiri.
5. Eksistensi Bhinneka Tunggal Ika yang dimaksud disini adalah Semboyan negara
kita Bhinnekka Tunggal Ika merupakan cerminan kenyataan aktual dari masyarakat
Indonesia yang terdiri atas lebih dari 500 suku bangsa yang masing-masing
memiliki jatidiri sukubangsa dan kebudayaan. Tidak dapat dipungkiri,
kemajemukan bangsa Indonesia bagaikan pedang bermata dua, yang pada satu sisi
dapat teraktivasi sebagai faktor pemersatu namun di satu sisi lainnya dapat
menyebabkan perpecahan. Berdasarkan contoh riil kejadian diatas, dapat dilihat
bahwa kekentalan aroma kesukubangsaan yang dipandang secara sempit oleh masing
masing pihak yang mengutamakan jatidiri suku bangsa Ambon dan Flores telah
menjadi pemicu konflik tersebut yang menjadikan mereka lupa pada jatidiri yang
lebih besar sebagai bangsa Indonesia, yaitu jatidiri nasional yang memandang
bahwa adanya kenyataan berupa perbedaan dalam keanekaragaman
sukubangsa-sukubangsa di Indonesia namun tetap satu jua dalam semangat negara
kesatuan Republik Indonesia. Sehingga dalam kejadian tersebut terdapat
kenyataan bahwa ternyata Bhinneka Tunggal Ika belum sepenuhnya mendarah daging
pada diri sebagian warga negara Indonesia tersebut yang mengutamakan
primordialisme kesukubangsaannya dalam menyelesaikan permasalahan
Harus diakui
atau tidak bahwa gesekan-gesekan horizontal yang terjadi di masyarakat
merupakan akibat dari tidak adanya kepercayaan pubik terhadap institusi
pelayanan masyarakat diberbagai bidang, terutama hukum dan ekonomi sehingga
masyarakat cenderung mencari cara-cara dan alternatif lain yang dinilai singkat
untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapinya. Dari berbagai kasus kerusuhan
yang timbul bila kita cermati ini ditimbulkan oleh perselisihan-perselisihan
kecil yang terjadi di masyarakat yang penyelesaiannya tidak pernah tuntas dan
tidak pernah memberikan keadilan yang berpihak pada publik (walaupun kita tahu
bahwa rasa keadilan itu bersifat subjektif), sehingga publik dalam hal ini
masyarakat selalu menyelesaikan konflik-konflik tersebut melalui sudut pandang
mereka. Sudut pandang inilah uang sering dijadikan masyarakat sebagian
masyarakat sebagai suatu pembenaran universal yang tumbuh dari opini dan latar
belakang budaya kontemporer yang tumbuh di masyarakat. Isu-siu yang berkembang
dalam kerusuhan sering kali menjebak dan cenderung melebar dari permasalahan
sebenarnya, oleh karena itu dibutuhkannya lembaga yang benar-benar bisa
dipercaya dalam menyelesaikan setiap konflik yang terjadi dengan melibatkan
seluruh unsur yang ada di masyarakat mulai dari tokoh masyarakat, tokoh budaya,
pemimpin non formal masyarkat dan baru pada unsur terakhir bisa dilibatkan
pihak kepolisian.
Plurarisme
pada masyarakat indonesia sangat mudah untuk dibenturkan dan di pecah belah
terutama terhadap isu keagamaan dan kesukuan. Dalam beberapa kejadiian ini
menjadi konflik yang sangat rumit yang mingkin penyelesaiannya cenderung
berlarut-berlarut karena adanya ego dari suatu kelompok kepentingan (yang
mungkin mendapatkan keuntungan dari adanya kerusuhan). Arus informasi (dalam
hal ini pemberitaan media) kerap kali di tuding menjadi suatu pemicu semakin
meluasnya suatu kerusuhan, terutama dari pemberitaan media yang terlalu
propokatif dalam menempatkan judul beritanya seakan mengajak para pembacanya
terlibat lebih jauh. Pemberitaan berimbang dan memberikan fakta aktual yang
layak jadi informasi publik memang harus, tetapi jangan sampai meninggalkan
latar belakang sosiologis dari masyarakat juga karena itu akan berdampak buruk
bagi konflik tersebut. Seakan ada dualisme kepentingan yang dijalankan media
melalui pemberitaannya, yaitu tentang memberikan informasi dan menggiring opini
publik pada kepentingan penguasa. Betapa kuaatnya peran media ini kadang tidak
pernah disadari oleh masyarakat kelas bawah, mereka seakan selalu menjadi pihak
yang dinilai pelanggar atau pemicu dari kerusuhan. Walaupun harus kita akui
bahwa banyak diantara yang terlibat kerusuhan itu tidak mengetahui akar masalah
yang sebenarnya dan dieksploitasi sedemikian rupa. Mungkin mereka terbentuk
dari kerumunan yang yang baik itu secara langsung atau pun tidak terbawa arus.
Karena memang kerusuhan itu masalah yang kompleks .
Ada
beberapa cara yang dapat dilakukan untuk penyelesaian konflik tersebut, yaitu :
1. Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang
langsung dihentikan oleh pihak ketiga dalam hal ini pemerintah dan aparat
penegak hukum yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua
belah pihak dengan memberikan sanksi yang tegas apabila. Kejadian seperti ini
terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat
spontan dan informal.
2. Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh
pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat.
3. Konsiliasi, yaitu usaha untuk
mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai
persetujuan bersama..
4. Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua
belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti
pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah
pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur .
5. Adjudication (ajudikasi), yaitu
penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan dengan mengutamakan sisi
keadilan dan tidak memihak kepada siapapun.
Adapun
cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :
a. Aspek kualitas warga sukubangsa
1) Perlunya diberikan pemahaman dan
pembinaan mental secara konsisten dan berkesinambungan terhadap para warga
sukubangsa di Indonesia terhadap eksistensi Bhinneka Tunggal Ika sebagai faktor
pemersatu keanekaragaman di Indonesia, bukan sebagai faktor pemicu perpecahan
atau konflik.
2) Perlunya diberikan pemahaman kepada para
pihak yang terlibat konflik untuk meniadakan stereotip dan prasangka yang ada
pada kedua belah pihak dengan cara memberikan pengakuan bahwa masing-masing
pihak adalah sederajat dan melalui kesederajatan tersebut masing-masing anggota
sukubangsa berupaya untuk saling memahami perbedaan yang mereka punyai serta
menaati berbagai norma dan hukum yang berlaku di dalam masyarakat.
3) Adanya kesediaan dari kedua belah pihak
yang terlibat konflik untuk saling memaafkan dan melupakan peristiwa yang telah
terjadi.
b. Penerapan model Polmas secara sinkron
dengan model Patron-Klien. terjadinya perdamaian pada konflik antar sukubangsa
yang telah terwujud dalam sebuah konflik fisik tidaklah mudah sehingga perlu
adanya campur tangan pihak ketiga yang memiliki kapabilitas sebagai orang atau
badan organisasi yang dihormati dan dipercaya kesungguhan hatinya serta
ketidakberpihakannya terhadap kedua belah pihak yang terlibat konflik. Peran
selaku pihak ketiga dimaksud dapat dilakukan oleh Polri sebagai ”juru damai”
dalam rangka mewujudkan situasi yang kondusif dalam hubungan antar sukubangsa
dengan memberi kesempatan terjadinya perdamaian dimaksud seiring berjalannya
proses penyidikan yang dilandasi pemikiran pencapaian hasil yang lebih penting
dari sekedar proses penegakkan hukum berupa keharmonisan hubungan antar
sukubangsa yang berkesinambungan. Dalam hal ini, Polri dapat menerapkan metode
Polmas dengan melibatkan para tokoh dari masing-masing suku bangsa Ambon dan
Flores yang merupakan Patron dari kedua belah pihak yang terlibat konflik yang
tujuannya adalah agar permasalahan yang terjadi dapat terselesaikan secara arif
dan bijaksana oleh, dari dan untuk kedua sukubangsa dimaksud termasuk dalam hal
menghadapi permasalahan- permasalahan lainnya di waktu yang akan datang.
Dalam
masa pra konflik biasanya banyak ditandai dengan kejadian-kejadian konflik
antar individu yang akan berlanjut menjadi konflik antar kelompok atau
golongan.misalnya dalam kasus bentrokan di depan PN Jakarta selatan perkelahian
antar seorang pemuda dari suku yang berbeda biasanya akan berlanjut ke tahap
eskalasi yang lebih besar. Dalam hal ini polisi diharapkan agar cepat tanggap
dapat melakukan kegiatan penangkapan untuk dilanjutkan ke proses hukum terhadap
para pelaku agar menimbulkan efek jera bagi warga lain dalam suku tersebut
,sehingga pra konflik tidak akan terjadi konflik sehingga akar permasalahan
dapat diketahui.Frekuensi tingkat patrol polisi dan peran serta masyarakat,
pemuka agama dan pemuka adat atau perpolisian masyarakat (polmas) harus terus
ditingkatkan dan diupayakan kedaerah-daerah rawan pra konflik hal ini dilakukan
agar penyampaian informasi - informasi yang berkaitan dengan kasus tersebut
dapat segera diberikan dan disampaikan kepada aparat penegak hukum khususnya
polisi sehingga bentrokan yang sama dapat dicegah dan tidak lagi terjadi.
Konflik
akan menjadi pressure bagi warga untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang
mengarah ke konflik.giat polmas akan menimbulkan kesadaran hukum akan
pentingnya hidup bersoasial dan rasa tentram dalam kehidupan bermasyarakat,jika
muncul perang antar kelompok,maka polisi harus segera menengahi konflik fisik
atau perang yang sedang atau yang akan segera terjadi dengan cara mengirimkan
pasukan yang kekuatannya lebih besar dibanding yang berperan,namun semua
tindakan tersebut diatas akan akan menjadi sia-sia apabila kedua suku bangsa
tersebut tidak ada upaya atau komitmen yang kuat diluar dari perdamaian untuk
keharmonisan hubungan yang lebih baik sebagaimana yang berlaku didalam hidup
bermasyarakat.Perlu juga dilakukan pendidikan moralitas dan pendalaman ajaran
agama masing-masing yang menekankan akan pentingnya saling menghargai dan
hormat- menghormati dengan penuh toleransi antar umat beragama, tentunya juga
partsipasi tokoh-tokoh masyarakat baik pemuka agama dan pemimpin etnis juga
sangat diharapkan. kerjasama ini harus dibindengan berkesinambungan.Pihak
ketigayang netral harus selalu siap memfasilitasi dan mengawasi
hubungantersebut demi terciptanya keamanan dan ketertiban didalam masyarakat
Kesimpulan
Disadari
atau tidak perdamaian dan suasana yang kondusif adalah suatu hal yang sangat
diidamkan oleh masyarakat negeri ini. perlunya
peran pemerintah dan kerjasama antara elemen masyarakat. Perspektif
konflik antara sukubangsa Ambon dan Flores yang terjadi didepan PN Jakarta
Selatan tersebut diatas terutama disebabkan pengaktifan sentimen kesukubangsaan
secara sempit dan subyektif yang diinterpretasikan sebagai perbuatan yang
melukai harga diri dan kehormatan masing – masing sukubangsa Ambon dan
sukubangsa Flores yang selanjutnya terwujud sebagai konflik fisik yang
bertujuan melakukan penghancuran harta benda bahkan saling mengacam untuk
memusnahkan jiwa kedua belah pihak yang bertikai.
Kurangnya
pemahaman dan internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam semboyan Bhinneka
Tunggal Ika oleh generasi muda tersebut turut memicu munculnya aroganisme yang
mengakibatkan konflik antar sukubangsa
yang semestinya tidak terjadi apabila nilai-nilai dimaksud telah tertanam dalam
tiap-tiap individu mereka, walaupun tidak bias dipungkiri pula faktor Ekonomi
adalah salah satu sebab lain yang memiliki andil dalam kejadian tersebut.
Aspek
individu pihak-pihak yang terlibat konflik melalui pemberian pemahaman dan
pembinaan mental secara konsisten dan berkesinambungan terhadap eksistensi
Bhinneka Tunggal Ika, peniadaan stereotip dan prasangka serta kesediaan saling
memaafkan antar satu sukubangsa dengan sukubangsa lainnya. Cara lainnya yang
bisa dilakukan oleh pemerintah adalah upaya untuk pemerataan dibidang ekonomi
dan pembangunan dengan cara penyedian sumber-sumber lapangan pekerjaan yang
lebih banyak dan merata diseluruh Indonesia sehingga tidak terjadi penumpukan
penduduk disalah satu wilayah yang menimbulkan dampak lain seperti pengangguran.
Guna mewujudkan keharmonisan hubungan antar sukubangsa dalam interaksi sosial,
Polri dapat berperan di dalamnya dengan menerapkan model Polmas melalui
pemberdayaan para tokoh yang merupakan Patron dari masing- masing sukubangsa
yang terlibat konflik sehingga terjadi hubungan dan kerjasama yang
berkesinambungan antara masing masing sukubangsa tersebut.
Apapun
juga prosedur dan mekanisme yang dibangun untuk mengantisipasi dan mengatasi konflik, dan betapapun efektifnya
berdasarkan rancangannya, semua itu akan sia-sia saja manakala para warga tidak
hendak mentransformasi dirinya menjadi insan-insan yang berorientasi
inklusivisme. Berkepribadian sebagai
eksklusivis, warga tidak hendak menyatukan dirinya ke puak lain, bahkan,
alih-alih demikian, ia besikap konfrontatif dengan puak lain. Bersikap konfrontatif, ujung akhir
penyelesaian konflik yang dibayangkan hanyalah “menang atau kalah”, dan bahwa
the winner will takes all serta pula bahwa to the winner the spoil. Matinya yang kalah akan menjadi rotinya sang
pemenang, iemands dood, iemands brood.
Apabila konflik yang terjadi berlangsung pada model yang demikian ini,
yang tak muhal bisa terjadi juga dalam masyarakat yang demokratik, akibat yang
serius mestilah diredam atau dilokalisasi; ialah dicegah untuk menjadi terbatas
hanya berkenaan dengan pihak-pihak yang berselisih saja, yang “pertarungannya”
dan “perampasan harta kemenangan” akan diatur berdasarkan aturan-aturan
permainan yang telah ditetapkan bersama (misalnya aturan perundang-undangan)
yang telah dimengerti dan disosialisasikan.
DAFTAR PUSTAKA
http://mascondro212.blogspot.com/2011/05/konflik-antar-suku-bangsa-dan-upaya_16.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar